Selasa, 08 Juni 2010

Serba-serbi Transportasi


Kalau berbicara tentang alat angkut masal di Indonesia, kita pasti akan terpikir akan ketidaknyamanan, kriminalitas, pengabaian keamanan, standar harga yang tidak menentu, dan pelayanan yang kurang ramah. Kenyataannya, memang benar seperti itu. Walaupun, mungkin sudah ada beberapa lembaga penyedia transportasi publik yang "mulai" membenahi pelayanannya, masalah-masalah di atas masih sering kita temukan. Akan tetapi, saya bukan akan membahas masalah tersebut dan bagaimana solusinya. Mari kita serahkan masalah tersebut pada ahlinya. Dan karena saya bukan ahli dalam bidang transportasi publik, maka saya hanya ingin berbagi cerita tentang pengalaman saya menggunakan transportasi publik.

Angkutan Kota
Angkutan Kota atau biasa disingkat angkot biasa kita jumpai di kota-kota besar (ya iya lah, namanya juga angkutan kota, ya adanya di kota). Alat transportasi yang paling sering digunakan oleh warga metropolis. Saya dulu termasuk pengguna setia angkot, terutama ketika masih duduk di bangku SMA. Pengalaman paling berkesan selama jadi pengguna angkot adalah ketika pulang sekolah bersama teman-teman. Biasanya angkot menjadi media pertemuan yang tepat untuk berbagi informasi tentang apa yag terjadi di kelas lain. Banyak sekali berita yang beredar simpang siur selama perjalanan pulang dari sekolah sampai ke tempat tujuan.
Kesan lain dari menggunakan angkot adalah sopir atau kernet yang menjengkelkan. Ada sopir yang cara bicaranya sangat kasar dan seperti orang marah-marah. Sopir kayak begini ini yang sering membuat saya sakit hati. Sudah menjejalkan lusinan orang ke dalam angkot sampai di dalam rasanya seperti ikan sarden dalam kaleng. Kerjaannya marah-marah ke setiap penumpang yang tidak mau menuruti instruksinya. Bukannya berterima kasih pada penumpang yang sudah mau merelakan uangnya untuk dia.
Ada juga sopir yang suka ngomong aneh-aneh. Pernah ada seorang sopir yang bilang kalau bencana lumpur di Porong terjadi karena orang-orang sudah tidak mau membuat acara sedekah bumi atau biasa disebut slametan untuk para roh nenek moyang dan roh penunggu Porong. Apa pula ini? Karena saya waktu itu sedang mengantuk, saya dengarkan saja dan saya anggap sebagai dongeng pengantar tidur. Untungnya tidak keterusan tidur.

Kereta Api
Ini adalah alat transportasi masal favorit saya. Saya pernah menjadi pengguna setia kereta api dan hampir setiap hari menaikinya, yaitu ketika tahun-tahun pertama kuliah. Apalagi kalau bukan KA Komuter. Berangkat rame-rame beserta puluhan orang lain yang berangkat kerja atau kuliah ke Surabaya. Pulangnya juga begitu, berdesak-desakan sampai susah mencari ruang gerak. Kalau melihat film-film Jepang atau komik Jepang yang berdesak-desakan naik subway, mungkin rasanya seperti ini. Yang paling seru adalah ketika kereta datang dan para penumpang berebutan masuk supaya dapat tempat duduk. Sampai ada yang bela-belain loncat masuk ke dalam kereta, padahal kereta dalam posisi masih berjalan pelan bersiap untuk berhenti, dan jarak antara lantai dengan pijakan kereta cukup tinggi. Gile benerrr!!!
KA Komuter bisa menjadi ajang silaturahmi juga. Saya banyak bertemu teman lama maupun teman baru di komuter. Teman SD yang sudah lama tidak bersua, eh tiba-tiba ketemu di komuter. Atau berkenalan dengan seseorang yang duduk di sebelah saya, dan akhirnya menjadi akrab. Bagi anda yang ingin mecoba peruntungan, mungkin bisa menemukan jodoh di tempat ini, hehehe...
Keinginan saya yang belum erwujud sampai sekarang adalah naik kereta api yang ditarik oleh lokomotif uap. Pernah lihat Harry Potter atau Back To The Future kan? Sepertinya seru bisa naik kereta seperti itu. kabarnya di Ambarawa ada museum kereta api yang menyediakan kendaraan wisata berupa KA lokomotif uap. Hmmm, jadi ingin ke sana.

Bus
Saya termasuk jarang naik bus. Kalau bepergian di dalam kota biasanya saya lebih banyak ,emggunakan motor atau naik angkot jika tidak ada kendaraan. Saya baru naik bus kalau pergi ke luar kota, sayangnya saya termasuk orang yang jarang bepergian.
Pengalaman yang paling berkesan dari menumpang bus adalah para pengamennya. Mereka selalu datang bertubi-tubi, silih berganti. Satu selesai nyanyi, datang yang lain. Sampai saya pernah menyediakan banyak persediaan uang receh untuk diberikan pada mereka. tidak memberi juga tidak apa-apa sih, mereka juga tidak memaksa. Tapi tidak apa-apa, sebagai apresiasi terhadap mereka. Bahkan kalau lagunya enak dan nyanyinya bagus, saya tidak sayang untuk memberi lebih.
Pengalaman buruk pernah saya alami ketika naik bus pariwisata bersama teman-teman SMA saya. Kami baru saja pulang dari Bali dan berhenti sebentar di Pelabuhan Ketapang sebelum melanjutkan perjalanan. Seorang pengamen masuk dan mulai menyanyi. Saya tidak terlalu memperhatikan apakah suaranya bagus atau tidak. Saya terlalu capek dan mengantuk. Selesai menyanyi dia berkeliling untuk meminta uang. Tiba giliran saya, tidak saya beri karena tidak ada uang kecil. EH, dia malah marah dan membentak saya. Saya bentak balik dan bilang kalau tidak ada uang, baru dia pergi. Kok ada pengamen kayak gitu? Baru tahu kali ini.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar ribut-ribut dari bagian belakang bus. Ternyata pengamen tadi dikeroyok oleh teman-teman saya. Wah, ada apa ini? Sopir langsung mengarahkan bus ke tepi dan pengamen tadi langsung meloncat ke luar. Gitarnya tertinggal dan dihancurkan oleh teman saya. masih untung, awalnya teman saya mau memukulkan gitar itu pada si pengamen. Usut punya usut, ternyata pengamen tadi berbuat ulah di belakang. Dia mengancam salah seorang teman saya karena tidak mau memberinya uang. Tersulut marah, teman saya langsung berdiri dan mengancam balik si pengamen. Teman-teman lain yang mengetahui hal ini langsung ikut membela teman saya. Si pengamen bukannya minta maaf malah semakin nyolot. Kata teman-teman, kayaknya si pengamen ini sedang teler alias mabuk. Tidak menunggu lama, teman-teman saya langsung menghajarnya. Biar tahu rasa. Ternyata dia telah membentak dan mengancam setiap orang di dalam bus, kecuali guru saya. Dasar setan alas.
Kembali ke bus. Saya sebenarnya paling suka naik bus tingkat, atau di Inggris sana disebut double decker. Dulu waktu saya masih kecil, banyak bus tingkat di Surabaya. Kalau ke Surabaya, saya pasti minta ke orangtua saya untuk naik bus tingkat, dan saya pasti akan langsung menuju tingkat dua. Meskipun di atas suasananya tidak terlalu terang dan agak pengap, tapi entah kenapa saya selalu suka duduk di sana. Sayangnya sekarang sudah tidak ada lagi bus tingkat di Surabaya.
Bus juga bisa menjadi ajang mencari obyek foto, asalkan kita jeli dan peka. Saya dan teman saya pernah berhasil menangkap momen matahari terbenam ketika kami dalam perjalanan dari Baluran kembali ke Surabaya. Waktu itu kami sedang melewati daerah Pantai Pasir Putih, Probolinggo dan kebetulan saat sedang senja. Tak menyia-nyiakan kesempatan, teman saya langsung membidik momen tersebut dan berhasil mengabadikannya dalam lensa.

Kapal
Saya juga jarang sekali naik alat transportasi ini. Biasanya saya naik kapal kalau menyeberang ke Pulau Bali, menggunakan kapal feri. Pernah sekali, menyeberang ke Madura, juga menggunakan kapal feri. Waktu itu Jembatan Suramadu masih belum jadi.
Pernah juga saya naik kapal motor yang lebih kecil. Waktu itu menyeberangi danau Batur menuju ke Trunyan. Cuaca memang menunjukkan kalau sedang kurang bersahabat, namun siapa sangka kami bakal terjebak badai di tengah danau. Waktu itu saya sedang berlibur bersama keluarga saya. Kami menyewa dua kapal. Saya berada satu kapal dengan nenek dan adik saya (dan juga si pengendara perahu, tentunya). Lagi asyik-asyiknya menikmati pemandangan Danau Batur, tiba-tiba turun hujan amat lebat disertai angin yang sangat kencang. Kapal kami terombang-ambing oleh ombak ke sana ke mari. Sopir kapal sampai harus mematikan mesin dan membiarkan ombak membawa kami. Selama beberapa menit, kapal kami terjebak di tengah badai, basah kuyup kami dibuatnya. Nenek saya menyebut nama Tuhan berkali-kali karena takut. Saya sendiri juga diam dan berdoa dalam hati. Sepertinya Tuhan mendengar doa kami karena hujan segera berhenti setelah itu.
Hujan berhenti, ganti kabut yang datang. Ke mana pun saya melihat, yang tampak hanya kabut yang tebal. Kabut yang cukup tebal untuk menghalangi jarak pandang. Sebenarnya pemandangannya cukup indah kalau saja kami tidak habis dibuat ketakutan setengah mati oleh badai tadi. Semoga si tukang perahu tahu ke mana harus pergi. Dia kan sudah cukup berpengalaman sebagai tukang perahu dan sering menghadapai masalah seperti ini. Untungnya dia memang sudah sangat ahli dan berhasil membawa kapal kami ke tepi danau. Perlahan-lahan, kabut mulai tersingkap dan terlihat beberapa orang yang menanti kami di ujung sana. Akhirnya sampai juga kami di Trunyan.

Pesawat
Di antara semua alat transportasi masal, jujur saja yang terakhir ini adalah yang paling jarang saya naiki. Tepatnya, saya hanya pernah naik pesawat satu kali saja sampai detik ini. Udik banget ya?
Pengalaman pertama naik pesawat membuat saya deg-degan. Segala sesuatu yang pertama selalu membuat saya deg-degan, entah kenapa. Saya bukannya takut seperti yang dialami oleh para penderita phobia naik pesawat. Saya justru merasa excited. Setelah sekian lama menanti, akhirnya kesempatan tersebut datang juga.
Saya harus berterima kasih pada kantor ayah saya karena kalau tidak ada acara rekreasi yang diadakan oleh kantor ayah, mungkin saya belum pernah menjejakkan kaki sama sekali di pesawat. Rute yang akan kami tempuh adalah Surabaya-Jakarta, jadi hanya menghabiskan waktu satu jam.
Selang beberapa pekan sebelum acara rekreasi kantor ayah saya diadakan, terjadi tragedi ledakan Adam Air yang tiba-tiba menghilang di atas Laut Jawa dalam perjalanan dari Surabaya menuju Makassar. Sangat mengenaskan. Tapi berita tersebut tidak lantas membuat saya jadi takut untuk naik pesawat. Bagi saya, kecelakaan bisa terjadi di mana saja. Kita sedang duduk-duduk di rumah pun bisa saja tiba-tiba mengalami kecelakaan yang tidak terduga. Asalkan kita selalu berdoa dan memohon keselamatan pada Tuhan, saya yakin akan selalu mendapat perlindunganNya. Apalagi, ini bisa menjadi satu-satunya kesempatan bagi saya untuk terbang. Belum tentu kesempatan seperti ini (gratis pula) bisa datang lagi. Jadi, saya malah merasa sangat excited, alih-alih merasa cemas. Akan tetapi, tidak begitu dengan yang dirasakan oleh beberapa rekan kantor ayah saya, terutama yang ibu-ibu.
Banyak dari ibu-ibu tersebut yang juga baru kali ini merasakan terbang. Belum apa-apa mereka sudah ketakutan setengah mati. Apalagi ditambah pemberitaan kasus Adam Air. Ada yang minta tiket pesawatnya ditukar tiket kereta api saja. Ada pula yang mau naik pesawat asalkan maskapainya bukan Adam Air. Ada yang rewel minta duduknya dekat dengan teman atau keluarga, padahal tiket sudah dipesankan secara acak oleh agen perjalanan. Karena jumlah rombongan yang cukup besar, maka kami terpaksa dipecah menjadi beberapa kelompok, dan menaiki pesawat yang berbeda-beda. nah, ibu-ibu tadi minta supaya dia bisa berada satu pesawat dengan temannya yang naik Lion Air, padahal dia sudah dapat tiket untuk Adam Air. Sungguh merepotkan. Bagaimanapun, show must go on. Meskipun ibu-ibu tadi masih bersikukuh, panitia dan petugas travel agent berhasil memaksa mereka untuk tetap naik pesawat sesuai dengan tiket masing-masing. Akhirnya kami berangkat dan alhamdulillah sampai di Jakarta dengan selamat.
Kesan saya yang muncul setelah naik pesawat: biasa aja tuh. Tidak ada yang istimewa ternyata. Pemandangan awan di angkasa memang bagus sih, tapi tidak leluasa memandangnya karena jendela pesawat terlalu kecil dan jarak antar kursi begitu sempit sehingga mengurangi ruang gerak. Untungnya hanya satu jam.

******

Kesimpulan yang bisa diambil: apapun alat transportasinya, kalau di Indonesia pasti banyak ditemukan kekurangan. Akan tetapi, kekurangan-kekurangan ini justru menyimpan cerita tersendiri bagi setiap penumpangnya, termasuk saya dan mungkin juga anda. Selamat berkelana.

Baluran: Eksotisme Afrika di Ujung Timur Pulau Jawa



Hidup dan tinggal di kota besar yang penuh hiruk pikuk kadang bisa menimbulkan kejenuhan yang amat sangat. Bila sudah muncul kondisi seperti ini, berarti tanda bagi saya untuk berlibur sejenak ke luar kota. Maka, ketika melihat kalender dan di situ tertera angka berwarna merah di hari Jumat, saya tidak menyia-nyiakan waktu. Karena waktunya cuma tiga hari dan saya belum bisa mengambil cuti (maklum, masih berstatus freshman di tempat kerja), maka saya memutuskan untuk berlibur di daerah Jawa Timur saja. Dari hasil googling di internet saya menemukan sebuah tempat bernama Taman Nasional Baluran. Saya pernah mendengar tentang tempat tersebut tapi masih belum banyak tahu. Ketika saya menanyakan ke teman-teman saya pun mereka juga tidak banyak yang tahu. Taman Nasional ini terletak di ujung timur pulau Jawa, tepatnya di perbatasan Kabupaten Situbondo dan Banyuwangi. Kalau melakukan perjalanan darat ke Pulau Bali pasti akan melewati tempat ini.
Dulu ketika masih kecil, saya pergi ke Bali bersama keluarga naik mobil. Dalam perjalanan, kami melewati sebuah hutan yang menurut saya terlihat sangat unik. Hutan dengan pepohonan yang meranggas dan sebuah gunung besar sebagai latar belakang. Pemandangan yang unik dan mistis. Imajinasi anak kecil saya langsung muncul. Jangan-jangan ada nenek sihir yang tinggal di situ. Saya bertanya ke ayah saya, hutan apakah ini? Kata ayah saya itu adalah hutan Baluran, suaka margasatwa bagi banteng, salah satu hewan langka di Indonesia. Itulah pertama kalinya saya mengetahui tentang Baluran. Sekian tahun berlalu dan saya sudah melupakan tentang hutan tersebut. Kemudian, sebulan yang lalu tanpa sengaja saya menemukan sebuah situs yang mengulas tentang Taman Nasional Baluran. Dikatakan bahwa tempat tersebut seakan Afrikanya Pulau Jawa. Dari foto-foto yang ditampilkan memang benar juga sih. Savana dengan rumput yang menguning dan gunung besar yang bertengger di belakangnya, dengan sekawanan hewan memamah biak yang sedang merumput. Benar-benar seperti Afrika (meskipun saya sendiri juga belum pernah melihat Afrika secara langsung). Hal ini membuat saya semakin penasaran dengan Baluran. Akhirnya saya memutuskan untuk pergi berlibur ke sana.

Perjalanan Panjang
Berdasarkan informasi dari internet, taman nasional Baluran cukup mudah dijangkau, baik dengan kendaran pribadi maupun angkutan umum. Karena tidak memungkinkan untuk menggunakan kendaraan pribadi, maka saya memutuskan untuk pergi naik bus. Bersama dengan seorang teman, berangkatlah kami menuju rimba Baluran. Teman saya yang hobi fotografi sudah membawa perlengkapan penuh untuk “memburu” kehidupan liar di sana.
Dari Surabaya kami naik bus jurusan Probolinggo, dan di Probolinggo kami ganti bus yang menuju ke Situbondo. Bus yang kami tumpangi cukup istimewa, karena sangat full-music. Lagu-lagu yang disajikan pun cukup unik dengan variasi suara mulai dari yang sangat merdu seperti Iwan Falls hingga yang benar-benar falls. Ada pengamen yang menyanyikan lagu-lagu populer, mulai dari tembang kenangan hingga yang paling baru, dengan suara yang sangat merdu. Hebatnya lagi, mereka mampu memberikan karakter mereka pada lagu tersebut (meminjam istilah dari para juri talent show). Ada pula yang menyanyikan lagu karangan sendiri. Meskipun terdengar asing, tapi cukup bisa membuat kaki saya ikut menghentak. Ada juga yang sangat unik. Pengamen ini suaranya sangat pas-pasan, bahkan cenderung dipaksakan, sudah begitu lagunya juga sangat aneh. Entah kenapa dia tidak menyanyikan lagu populer saja dan lebih memilih lagu tersebut. Bahasa yang digunakannya entah bahasa apa, dan kedengarannya lebih seperti orang merintih daripada sebuah nyanyian. Tapi, kehadirannya cukup membuat kami terhibur, kami tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya. Paling tidak, para musisi jalanan tersebut membuat perjalanan delapan jam ini menjadi lebih berirama.
Selain sarana transportasi yang full musik, kami juga disuguhi pemandangan indah khas pedesaan pantai selama perjalanan. Saya sudah lama tidak pergi ke daerah timur. Banyak perubahan yang terjadi, tapi ada juga hal-hal yang tampaknya masih sama dengan beberapa tahun lalu ketika saya terakhir kali ke sana. Perbedaan antara kota-kota ini dengan kota tempat saya tinggal terasa cukup mencolok. Beberapa tahun lalu, keadaannya tidaklah terlalu berbeda, namun sekarang baru saya menyadari bahwa pembangunan yang pesat terjadi pada kota tempat saya tinggal. Pantas saja, suasananya semakin hari semakin terasa sesak.

Gerbang Batangan
Awalnya, kami mengira perjalanan ini akan menempuh waktu lima jam. Karena itu, kami usahakan untuk berangkat pagi-pagi, supaya sampai di Baluran tidak terlalu siang dan masih bisa Sholat Jumat. Ternyata, perkiraan kami salah, waktu tempuhnya hampir delapan jam, karena bus terakhir yang kami tumpangi melaju amat lambat dan sering berhenti untuk mengangkut penumpang.
Lewat tengah hari kami baru menginggalkan kota Situbondo, menuju ke daerah perbatasan. Melalui daerah Karangtekok, Situbondo kami melihat sebuah plang yang besar bertuliskan “Anda memasuki kawasan Taman Nasional Baluran”, dan di depan kami terhampar hutan yang sangat hijau. Suasananya berbeda dengan ketika saya pertama kali melihatnya dulu. Jalan raya yang melalui hutan ini sangat panjang. Entah sudah berapa kilometer yang kami tempuh sejak dari Karangtekok tadi. Kata kernet bus, nanti kami turun di daerah Batangan kalau mau masuk ke Baluran. Saya kira, nantinya kami akan turun di tengah hutan, karena melihat areal hutan yang begitu luas dan tidak habis-habis. Wah, pasti akan cukup ngeri kalau pulang malam-malam dan harus menunggu bus dahulu. Ternyata dugaan saya salah. Batangan merupakan daerah yang ramai. Di situ ada pemukiman penduduk, kantor polisi, dan kantor kehutanan. Di sanalah berdiri pintu gerbang Taman Nasional Baluran. Sarana transportasi untuk kembali ke Surabaya pun ternyata tidak susah. Bus kota maupun antar kota selalu lewat di depan situ, karena lokasinya tidak jauh dari Pelabuhan Ketapang.
Begitu turun dari bus, kami langsung menuju pos penjaga. Petugasnya cukup ramah ketika melayani kami. Tiket masuknya cukup murah, hanya Rp. 2.500,- per orang sekali masuk, dan kalau bawa mobil menambah uang masuk Rp. 6.000,- per mobil. Justru yang mahal adalah sewa ojek, kalau anda tidak membawa kendaraan sendiri, yaitu seharga Rp. 30.000,- sekali berangkat untuk setiap ojek. Tidak mungkin kami berjalan karena jarak antara gerbang dengan Bekol, tempat kami menginap, adalah 12 km. Karena kami tidak bawa kendaraan sendiri, mau tidak mau kami harus menyewa ojek. Yang lebih menyusahkan, kami tidak melihat satupun tukang ojek di situ. Berdasar saran dari petugas, saya mencari ojek di kampung terdekat. Setelah tanya sana-sini, barulah saya mendapatkan dua orang tukang ojek. Ternyata berdasar infromasi penduduk setempat, kalau mencari ojek di sekitar situ siang-siang begini memang susah, yang banyak malah delman. Kalau malam malah justru banyak ojek. Aneh juga pikir saya.
Setelah masalah transportasi beres, masuklah kami ke hutan Baluran. Udara hutan nan sejuk langsung menerpa saya. Sudah lama saya tidak merasakan udara sesejuk ini. Meskipun siang itu suasanya cukup panas, sinar matahari tidak begitu menyengat di dalam hutan ini. Di dalam kami disuguhi pemandangan pohon-pohon hijau yang sangat lebat dan burung perkutut liar yang beterbangan ke sana kemari. Tampaknya area ini baru saja diguyur hujan karena tampak beberapa kubangan air di sepanjang jalan. Hampir di setiap kubangan tersebut, ada sekumpulan kupu-kupu putih yang hinggap untuk minum. Ketika motor kami melewatinya, kumpulan kupu-kupu itu terbang memecah mengitari kami. Pemandangan yang cukup ajaib. Puluhan kupu-kupu putih melayang indah di sekitar saya, seperti sekawanan peri hutan dalam cerita-cerita dongeng. Pemandangan ini tidak sekali terjadi, di sepanjang perjalanan kami menemui sekumpulan kupu-kupu putih yang terbang menari setiap ada kendaraan melewati mereka.

Savannah Bekol
Setelah menempuh jarak 12 km, sampailah kami di savannah bekol. Pemandangan savannah tersebut juga tidak kalah menariknya. Hamparan padang rumput yang menguning menyambut kami. Ungkapan suara rumput yang bergoyang, benar-benar saya dengar di sini. Pemandangan ini benar-benar seperti yang saya lihat di foto, namun tak ada satupun hewan memamah biak yang sedang merumput. Ternyata, kata tukang ojek yang membonceng saya, hewan-hewan tersebut berkumpul di savannah ketika musim kemarau, di mana air dan makanan sudah susah ditemukan di hutan. Kalau masih musim hujan seperti sekarang, mereka lebih banyak bersembunyi di dalam hutan karena air dan makanan masih melimpah ruah. Kalaupun ada, biasanya hanya beberapa jenis unggas liar, seperti ayam hutan. Benar saja, saya melihat beberapa ekor ayam hutan yang melintas di antara rerumputan. Mereka bahkan bisa terbang.
Penginapan kami terletak persis di depan savannah. Dari informasi di internet tempat ini tidak banyak dikunjungi wisatawan. Bahkan petugas di pos gerbang pun juga mengatakan demikian. Jadi saya tidak melakukan reservasi sebelumnya. Saat masih di bus, teman saya bertanya, apa tidak reservasi dulu. Saya bilang tenang saja, pasti akan dapat kamar. Ketika kami memesan kamar, petugasnya bilang kalau semua kamar sudah habis, baik yang di Bekol maupun di Bama. Wah, rasanya seperti tersambar petir di siang bolong. Alamat tidur di luar bersama hewan hutan nih. Padahal, kami tidak siap peralatan camping sama sekali.
Rupanya waktu itu sedang banyak pengunjung. Selain karena memang lagi long weekend, adanya event birdwatch yang akan diadakan pada bulan Juli turut berperan serta membuat kami tidak mendapatkan kamar. Para “pemburu burung” sedang mencari obyek bidikan yang tepat untuk diikutkan dalam lomba fotografi tersebut. Selain itu juga sedang ada sekelompok peneliti dan sekelompok mahasiswa yang sedang melakukan penelitian. Untungnya petugas taman nasional masih berbaik hati dan memberi kami ruang untuk tidur. Ruangannya lebih luas dari kamar yang disewakan. Sayangnya, tidak ada tempat tidur. Sebagai gantinya adalah selembar tikar. Yah, namanya juga ruang aula, mana ada tempat tidurnya. Tapi kami tidak sendiri. Ada sepasang turis dari Belanda yang juga tidak kebagian kamar dan akhirnya diinapkan di kamar petugas. Yah, paling tidak mereka masih bisa tidur di kasur.
Ada dua keuntungan yang kami dapat karena tidak mendapatkan kamar. Pertama, kami bisa menghemat anggaran. Kami tidak harus membayar ongkos penginapan tapi tetap bisa tidur dengan nyaman. Daripada kami tidur di hutan, atau di mushola yang penuh bau kencing musang, lebih baik kami tidur di aula meskipun beralas tikar. Kedua, kami tetap bisa makan nasi. Awalnya kami sudah siap-siap untuk tidak makan nasi selama dua hari, karena pihak Baluran tidak menyediakan makanan kalau sedang sepi pengnjung. Akhirnya kami membawa makanan sendiri tapi yang cukup praktis dan bisa mengenyangkan, yaitu roti. Selama perjalanan di bus pun kami membeli nasi bungkus untuk persediaan terakhir. Dasar orang Indonesia, menganggap belum makan kalau tidak makan nasi, sehingga kebingungan kalau tidak makan nasi walaupun hanya dua hari. Tapi dugaan kami salah. Karena pengunjung banyak, petugas pun menyiapkan nasi dan masakan.
Setelah melepas lelah sebentar, kami lanjutkan menjelajah savannah. Suasananya benar-benar seperti di Afrika. Teman saya berhasil mendapat beberapa objek yang cukup bagus. Puas menjelajah savannah, kami naik ke menara pengawas. Tempatnya cukup tinggi untuk membuat kami ngos-ngosan. Setelah sampai di atas, kelelahan kami terbayar. Pemandangan yang sangat indah terhampar di depan kami. Dari sini, seluruh area Bekol bisa terlihat. Kami bahkan bisa melihat selat Bali. Waktu itu matahari sudah hampir terbenam. Langit berubah warna menjadi ungu dan jingga. Angin darat berhembus menuju laut, menghembuskan udara yang sangat sejuk. Suasana yang hening membuat saya bisa mendengar suara-suara makhluk hutan. Bahkan angin pun seolah-olah bersuara. Ayam hutan berkokok bersahut-sahutan dan di atas sana elang memekik sambil melayang menuju sarangnya.

Pantai Bama
Kami berencana untuk pergi ke pantai Bama pagi-pagi buta supaya bisa melihat sunrise. Panta Bama tepat menghadap ke timur sehingga merupakan lokasi yang tepat untuk melihat matahari terbit. Kami bahkan tidur lebih awal supaya bisa bangun pagi-pagi. Rencana untuk night safari pun kami batalkan (padahal karena kami lupa bawa senter). Akan tetapi, rencana kami hancur seketika karena kami bangun kesiangan. Kami baru bangun pukul lima dan buru-buru sholat Shubuh. Selesai sholat kami segera bersiap-siap. Namun apa daya, sinar mentari sudah masuk menerobos jendela. Akhirnya kami berlari menuju menara pengawas, daripada tidak melihat sunrise sama sekali. Begitu sampai di atas, kecewalah kami karena ternyata mentari pagi tertutup oleh awan kelabu. Mungkin belum rejeki kami untuk melihat matahari terbit di langit Baluran.
Akhirnya kami tetap pergi ke pantai Bama, meskipun melenceng dari waktu semula. Jarak Bekol-Bama hanya 3 km dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Kata petugasnya paling hanya 45 menit kalau jalan kaki. Karena tidak membawa kendaraaan, kami tidak punya pilihan lain. Akibat jarang olahraga, baru melangkah sedikit saja kaki sudah terasa capek. Untungnya pemandangan yang kami lalui sangat indah sehingga capek pun tidak terasa. Rute menuju pantai Bama melewati hutan yang cukup lebat. Tapi hutan ini cukup aman, sehingga tidak perlu takut bertemu predator di tengah jalan. Kata petugas dan tukang ojek kemarin, hewan-hewan itu juga takut kepada manusia. Jadi kalau ada orang melintas, alih-alih menerkam, mereka malah sembunyi atau lari. Benar saja, di jalan, kami bertemu sekawanan rusa liar. Mereka berlari menjauh begitu melihat kami.
Baru kali ini saya melihat langsung sekawanan rusa liar begitu dekat. Sebelumnya saya memang sudah pernah melihat jenis mereka di kebun binatang atau taman safari, namun tetap saja rasanya begitu berbeda ketika bisa melihat mereka secara langsung di habitat asli mereka. Mereka mengeluarkan suara-suara lolongan bersahut-sahutan memanggil anggota kawanan yang lain. Sungguh menajubkan.
Binatang lain yang kami temui selama perjalanan menuju pantai Bama adalah burung merak. Dari dulu saya penasaran, apakah merak bisa terbang. Saya pernah melihat foto di internet tentang merak yang sedang terbang, Saya kira itu adalah foto rekayasa, karena tidak mungkin merak bisa terbang. Akan tetapi dugaan saya salah, merak memang benar-benar bisa terbang. Sungguh ajaib melihat pemandangan ini. Ukuran tubuh yang cukup besar, dengan leher panjang dan ekor besar menggelantung, seekor merak jantan terbang melintas di depan kami. Kami terpukau melihat pemandangan tersebut. Inilah menariknya melihat kehidupan liar dari dekat dan secara langsung. Anda tidak akan bisa menemui pemandangan seperti ini di kebun binatang atau taman safari.
Setelah menempuh jalan yang cukup panjang, sampailah kami di pantai Bama. Pantai yang putih dengan air laut biru jernih, benar-benar mengobati rasa capek kami. Meskipun di sana terdapat beberapa penginapan yang sudah terisi penuh, suasana pantai benar-benar terasa sepi. Di sana saya hanya melihat seorang petugas, dua orang sopir bus yang mengantar sekelompok mahasiswa, serta empat orang pengunjung lain. Begitu sampai di bama, kami langsung disambut oleh tuan rumah, sekewanan kera ekor panjang, atau biasa disebut macaca. Kera-kera itu tahu kalau kami membawa makanan, dan meeka berusaha merebutnya. Mereka sangat mirip dengan kera-kera yang ada di Besakih, bali. Kalau tidak hati-hati, barang bawaan anda bisa dicuri mereka. Di Bekol kami juga bertemu beberapa kera, namun mereka tidak seliar kerabatnya yang ada di Bama. Akhirnya kami mengamankan barang-barang bawaan kami di sebuah kamar yang dipinjamkan oleh petugas. Ternyata di Bama masih ada satu kamar kosong yang seharusnya bisa kami sewa, padahal kata petugas di Bekol semua kamar di Bama juga sudah habis.
Selesai mengisi perut, kami melanjutkan petualangan kami. Kami menyewa kayak dan peralatan snorkeling. Untuk menuju ke tempat snorkeling kami harus mendayung kayak ke arah utara pantai. Jaraknya cukup jauh juga, cukup jauh untuk membuat lengan saya capek. Kalau saya melakukan ini tiap hari, mungkin lengan saya bisa jadi kekar. Setelah bercapek-capek, berbasah-basah, dan berpanas-panas, sampailah kami di area terumbu karang. Kata petugas tadi, penandanya adalah sebuah pelampung merah. Benar saja, kami melihat banyak terumbu karang di bawah kami. Namun kami sekarang bingung, kalau kami menyelam, kayak kami harus ditambatkan di mana? Teman saya menyarankan untuk menyelam sambil memegang kayak. Saya kurang setuju karena tampaknya terlalu susah dan beresiko. Tak jauh dari situ, kami melihat sebuah pantai. Saya menyarankan untuk menepi dulu dan memarkir kayak di sana, kemudian berenang menuju area terumbu karang.
Sesampai di pantai, kami mendapatkan pemandangan yang tidak kalah serunya. Pantai yang masih sangat alami dengan pasirnya yang putih dan hutan yang lebat. Saya merasa seperti berada di film The Beach dan Cast Away.
Masalah parkir kayak sudah terselesaikan, namun ada masalah lain yang menghadang. Teman saya bilang bahwa jarak pantai dan area terumbu karang terlalu jauh dan air laut yang dekat pantai terlalu keruh sehingga menghalangi pandangan ketika berenang. Benar juga, pasti akan cukup sulit bagi kami untuk berenang ke area terumbu karang. Teman saya punya ide lain, kami pergi ke arah terumbu karang menggunakan satu kayak dan meyelam bergantian. Tapi belum sampai ke tegah laut, kami mengurungkan niat dan kembali ke pantai, karena kayak kami beberapa kali hampir terbalik diombang-ambingkan oleh angin dan ombak yang terlalu kencang dan serta kelebihan beban. Bagaimana tidak kelebihan beban, lha satu kayak dinaiki dua orang. Akhirnya kami urungkan niat kami untuk snorkeling, padahal kami sudah terlanjur menyewa alatnya.
Kembali ke pantai Bama, kami mendapati suasana yang benar-benar sunyi. Empat orang pengunjung yang tadi mengayuh kayak bersama kami tadi sudah pergi lebih dulu. Seolah-olah hanya ada kami di pantai itu. Bahkan para macaca pun tidak ada.
Untuk mengobati kekecewaan karena tidak jadi snorkeling, kami menyusuri pantai Bama mencari beberapa obyek foto yang menarik. Pantai Bama sebenarnya cukup luas, namun sebagian besar area pantainya tertutup oleh hutan bakau. Kami pun tidak bisa menyusurinya lebih jauh lagi, kecuali kami berlayar menggunakan perahu. Tidak jauh dari pantai wisata ini, ada desa nelayan, namun kami tidak tahu rute yang harus ditempuh. Dan pastinya jaraknya cukup jauh, padahal kami tidak membawa kendaraan. Akhirnya kami harus cukup puas dengan berjalan-jalan di sekitar situ.
Mendekati tengah hari, kami meninggalkan Bama dan kembali ke Bekol. Ketika kami akan pergi, datang segerombolan wisatawan lokal, yang terdiri dari orangtua dan anak-anak. Begitu orang-orang ini turun dari mobil, para macaca yang tadinya hilang entah ke mana, tiba-tiba bermunculan dari berbagai arah. Mereka berlarian dan bergelantungan di dahan-dahan, menyerbu rombongan wisatawan tersebut, persis seperti yang mereka lakukan pada kami tadi pagi. Anak-anak kecil pun menangis melihat mereka. Dasar kera-kera nakal.

Meninggalkan BaluranKami putuskan untuk kembali di hari kedua. Awalnya kami akan menginap sampai hari Minggu, namun kami urungkan karena melihat tempat menginap yang tidak mendukung serta waktu perjalanan yang cukup lama. Kami putuskan untuk kembali lebih awal supaya masih bisa beristirahat. Sebelum pulang, kami sempatkan untuk duduk-duduk sejenak di tepi savannah. Menikmati suasana Baluran untuk terakhir kalinya sebelum kembali lagi ke sini entah kapan. Rasanya belum puas untuk mengeksplorasi Baluran hanya dalam dua hari.
Angin laut berhembus di tengah cuaca panas, menimbulkan rasa kantuk pada kami. Duduk di atas bukit berbatu, di bawah naungan pohon yang rindang, menatap ke arah hamparan savannah, serasa sangat menyejukkan hati dan pikiran. Mendengarkan suara angin yang berhembus dan suara rumput yang bergoyang, yang mungkin jarang kita jumpai di kota-kota besar.
Dalam perjalanan pulang menuju gerbang Batangan, saya bertemu lagi dengan kumpulan kupu-kupu putih yang terbang menari di sekitar saya. Seolah-olah mereka menyambut dan mengucapkan selamat tinggal pada setiap tamu yang berkunjung. Nyanyian burung hutan dan sinar mentari sore di balik gunung Baluran juga seakan turut mengantar kami pulang. Tempat ini benar-benar membuat saya jatuh hati. Pantas saja, ada seorang pengunjung dari Surabaya yang setia datang kemari, bahkan ia sudah tujuh tahun mengenal tempat ini. Taman Nasional Baluran, secuil Afrika di Pulau Jawa, yang menyimpan begitu banyak keajaiban dan keindahan alam.
Tips PerjalananAkses menuju Baluran cukup mudah. Anda bisa menempuhnya dengan kendaraan umum ataupun kendaraan pribadi. Tempat ini berada persis di pinggir jalan raya yang menuju pelabuhan Ketapang. Jadi tidak usah takut untuk tidak bisa mendapatkan angkutan jika anda tidak membawa kendaraan pribadi. Dari Surabaya anda bisa naik bus jurusan Probolinggo seharga Rp.20.000,- per orang. Dari Probolinggo, silahkan anda berpindah ke bus jurusan Situbondo. Untuk mencapai lokasi TN Baluran, anda perlu merogoh kocek lagi sejumlah Rp.24.000,-.
Untuk kembali ke Surabaya, anda bisa menunggu bus jurusan Surabaya di depan pintu gerbang Batangan. Tempatnya cukup ramai dan aman. Tidak jauh dari situ ada kantor polisi dan selalu ada bus yang lewat di depan sana. Harga yang harus anda bayarkan untuk tiket kembali ke Surabaya adalah Rp. Rp.34.000,- dan tidak perlu transit.
Tiket masuk ke TN Baluran seharga Rp.2.500,- per orang, berapa lama pun anda menginap. Kalau anda membawa kendaraan, anda harus menambah lagi uang sejumlah Rp.6.000,- per kendaraan. Jika anda tidak membawa kendaraan, anda bisa menyewa ojek seharga Rp.30.000,- sekali jalan.
Pihak pengelola TN Baluran, menyediakan tempat menginap di Bekol dan Bama berupa wisma dan pesanggrahan. Harga yang ditawarkan berkisar antara Rp.25.000,- hingga Rp.35.000,- per orang per malam. Anda juga bisa menyewa satu wisma jika anda datang berkelompok. Pihak pengelola akan menyediakan makanan jika jumlah pengunjung minimal 20 orang. Jika tidak memenuhi jumlah tersebut, maka sebaiknya anda membawa bekal dari rumah. Ada baiknya anda konfirmasi dulu ke petugas terkait sebelum berangkat untuk memastikan hal tersebut.
Jika menginap, jangan lupa untuk mebawa lotion anti serangga untuk menghalau nyamuk dan serangga hutan yang lain. Ada baiknya juga anda membawa teropong untuk digunakan ketika melihat dari menara pengawas, dan juga senter yang bisa digunakan ketika safari malam.
Di pantai bama, kalau anda ingin snorkeling, anda bisa menyewa kayak dan peralatan snorkeling seharga Rp.75.000,-. Hati-hati terhadap kera-kera di sekitar pantai Bama. Amankan bekal dan barang bawaan dari mereka.
Waktu yang baik untuk melakukan kunjungan ke Baluran adalah di sepanjang musim kemarau. Anda bisa melihat segala jenis hewan berkumpul di savannah. Waktu yang paling bagus adalah sekitar bulan Agustus, di mana sedang terjadi musim kawin di lingkungan kerajaan binatang. Anda bisa melihat para pejantan saling bersaing untuk menarik perhatian hewan betina. Burung merak akan saling memamerkan keindahan ekornya dan para banteng akan saling beradu. Selamat berkelana.