Selasa, 08 Juni 2010

Serba-serbi Transportasi


Kalau berbicara tentang alat angkut masal di Indonesia, kita pasti akan terpikir akan ketidaknyamanan, kriminalitas, pengabaian keamanan, standar harga yang tidak menentu, dan pelayanan yang kurang ramah. Kenyataannya, memang benar seperti itu. Walaupun, mungkin sudah ada beberapa lembaga penyedia transportasi publik yang "mulai" membenahi pelayanannya, masalah-masalah di atas masih sering kita temukan. Akan tetapi, saya bukan akan membahas masalah tersebut dan bagaimana solusinya. Mari kita serahkan masalah tersebut pada ahlinya. Dan karena saya bukan ahli dalam bidang transportasi publik, maka saya hanya ingin berbagi cerita tentang pengalaman saya menggunakan transportasi publik.

Angkutan Kota
Angkutan Kota atau biasa disingkat angkot biasa kita jumpai di kota-kota besar (ya iya lah, namanya juga angkutan kota, ya adanya di kota). Alat transportasi yang paling sering digunakan oleh warga metropolis. Saya dulu termasuk pengguna setia angkot, terutama ketika masih duduk di bangku SMA. Pengalaman paling berkesan selama jadi pengguna angkot adalah ketika pulang sekolah bersama teman-teman. Biasanya angkot menjadi media pertemuan yang tepat untuk berbagi informasi tentang apa yag terjadi di kelas lain. Banyak sekali berita yang beredar simpang siur selama perjalanan pulang dari sekolah sampai ke tempat tujuan.
Kesan lain dari menggunakan angkot adalah sopir atau kernet yang menjengkelkan. Ada sopir yang cara bicaranya sangat kasar dan seperti orang marah-marah. Sopir kayak begini ini yang sering membuat saya sakit hati. Sudah menjejalkan lusinan orang ke dalam angkot sampai di dalam rasanya seperti ikan sarden dalam kaleng. Kerjaannya marah-marah ke setiap penumpang yang tidak mau menuruti instruksinya. Bukannya berterima kasih pada penumpang yang sudah mau merelakan uangnya untuk dia.
Ada juga sopir yang suka ngomong aneh-aneh. Pernah ada seorang sopir yang bilang kalau bencana lumpur di Porong terjadi karena orang-orang sudah tidak mau membuat acara sedekah bumi atau biasa disebut slametan untuk para roh nenek moyang dan roh penunggu Porong. Apa pula ini? Karena saya waktu itu sedang mengantuk, saya dengarkan saja dan saya anggap sebagai dongeng pengantar tidur. Untungnya tidak keterusan tidur.

Kereta Api
Ini adalah alat transportasi masal favorit saya. Saya pernah menjadi pengguna setia kereta api dan hampir setiap hari menaikinya, yaitu ketika tahun-tahun pertama kuliah. Apalagi kalau bukan KA Komuter. Berangkat rame-rame beserta puluhan orang lain yang berangkat kerja atau kuliah ke Surabaya. Pulangnya juga begitu, berdesak-desakan sampai susah mencari ruang gerak. Kalau melihat film-film Jepang atau komik Jepang yang berdesak-desakan naik subway, mungkin rasanya seperti ini. Yang paling seru adalah ketika kereta datang dan para penumpang berebutan masuk supaya dapat tempat duduk. Sampai ada yang bela-belain loncat masuk ke dalam kereta, padahal kereta dalam posisi masih berjalan pelan bersiap untuk berhenti, dan jarak antara lantai dengan pijakan kereta cukup tinggi. Gile benerrr!!!
KA Komuter bisa menjadi ajang silaturahmi juga. Saya banyak bertemu teman lama maupun teman baru di komuter. Teman SD yang sudah lama tidak bersua, eh tiba-tiba ketemu di komuter. Atau berkenalan dengan seseorang yang duduk di sebelah saya, dan akhirnya menjadi akrab. Bagi anda yang ingin mecoba peruntungan, mungkin bisa menemukan jodoh di tempat ini, hehehe...
Keinginan saya yang belum erwujud sampai sekarang adalah naik kereta api yang ditarik oleh lokomotif uap. Pernah lihat Harry Potter atau Back To The Future kan? Sepertinya seru bisa naik kereta seperti itu. kabarnya di Ambarawa ada museum kereta api yang menyediakan kendaraan wisata berupa KA lokomotif uap. Hmmm, jadi ingin ke sana.

Bus
Saya termasuk jarang naik bus. Kalau bepergian di dalam kota biasanya saya lebih banyak ,emggunakan motor atau naik angkot jika tidak ada kendaraan. Saya baru naik bus kalau pergi ke luar kota, sayangnya saya termasuk orang yang jarang bepergian.
Pengalaman yang paling berkesan dari menumpang bus adalah para pengamennya. Mereka selalu datang bertubi-tubi, silih berganti. Satu selesai nyanyi, datang yang lain. Sampai saya pernah menyediakan banyak persediaan uang receh untuk diberikan pada mereka. tidak memberi juga tidak apa-apa sih, mereka juga tidak memaksa. Tapi tidak apa-apa, sebagai apresiasi terhadap mereka. Bahkan kalau lagunya enak dan nyanyinya bagus, saya tidak sayang untuk memberi lebih.
Pengalaman buruk pernah saya alami ketika naik bus pariwisata bersama teman-teman SMA saya. Kami baru saja pulang dari Bali dan berhenti sebentar di Pelabuhan Ketapang sebelum melanjutkan perjalanan. Seorang pengamen masuk dan mulai menyanyi. Saya tidak terlalu memperhatikan apakah suaranya bagus atau tidak. Saya terlalu capek dan mengantuk. Selesai menyanyi dia berkeliling untuk meminta uang. Tiba giliran saya, tidak saya beri karena tidak ada uang kecil. EH, dia malah marah dan membentak saya. Saya bentak balik dan bilang kalau tidak ada uang, baru dia pergi. Kok ada pengamen kayak gitu? Baru tahu kali ini.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar ribut-ribut dari bagian belakang bus. Ternyata pengamen tadi dikeroyok oleh teman-teman saya. Wah, ada apa ini? Sopir langsung mengarahkan bus ke tepi dan pengamen tadi langsung meloncat ke luar. Gitarnya tertinggal dan dihancurkan oleh teman saya. masih untung, awalnya teman saya mau memukulkan gitar itu pada si pengamen. Usut punya usut, ternyata pengamen tadi berbuat ulah di belakang. Dia mengancam salah seorang teman saya karena tidak mau memberinya uang. Tersulut marah, teman saya langsung berdiri dan mengancam balik si pengamen. Teman-teman lain yang mengetahui hal ini langsung ikut membela teman saya. Si pengamen bukannya minta maaf malah semakin nyolot. Kata teman-teman, kayaknya si pengamen ini sedang teler alias mabuk. Tidak menunggu lama, teman-teman saya langsung menghajarnya. Biar tahu rasa. Ternyata dia telah membentak dan mengancam setiap orang di dalam bus, kecuali guru saya. Dasar setan alas.
Kembali ke bus. Saya sebenarnya paling suka naik bus tingkat, atau di Inggris sana disebut double decker. Dulu waktu saya masih kecil, banyak bus tingkat di Surabaya. Kalau ke Surabaya, saya pasti minta ke orangtua saya untuk naik bus tingkat, dan saya pasti akan langsung menuju tingkat dua. Meskipun di atas suasananya tidak terlalu terang dan agak pengap, tapi entah kenapa saya selalu suka duduk di sana. Sayangnya sekarang sudah tidak ada lagi bus tingkat di Surabaya.
Bus juga bisa menjadi ajang mencari obyek foto, asalkan kita jeli dan peka. Saya dan teman saya pernah berhasil menangkap momen matahari terbenam ketika kami dalam perjalanan dari Baluran kembali ke Surabaya. Waktu itu kami sedang melewati daerah Pantai Pasir Putih, Probolinggo dan kebetulan saat sedang senja. Tak menyia-nyiakan kesempatan, teman saya langsung membidik momen tersebut dan berhasil mengabadikannya dalam lensa.

Kapal
Saya juga jarang sekali naik alat transportasi ini. Biasanya saya naik kapal kalau menyeberang ke Pulau Bali, menggunakan kapal feri. Pernah sekali, menyeberang ke Madura, juga menggunakan kapal feri. Waktu itu Jembatan Suramadu masih belum jadi.
Pernah juga saya naik kapal motor yang lebih kecil. Waktu itu menyeberangi danau Batur menuju ke Trunyan. Cuaca memang menunjukkan kalau sedang kurang bersahabat, namun siapa sangka kami bakal terjebak badai di tengah danau. Waktu itu saya sedang berlibur bersama keluarga saya. Kami menyewa dua kapal. Saya berada satu kapal dengan nenek dan adik saya (dan juga si pengendara perahu, tentunya). Lagi asyik-asyiknya menikmati pemandangan Danau Batur, tiba-tiba turun hujan amat lebat disertai angin yang sangat kencang. Kapal kami terombang-ambing oleh ombak ke sana ke mari. Sopir kapal sampai harus mematikan mesin dan membiarkan ombak membawa kami. Selama beberapa menit, kapal kami terjebak di tengah badai, basah kuyup kami dibuatnya. Nenek saya menyebut nama Tuhan berkali-kali karena takut. Saya sendiri juga diam dan berdoa dalam hati. Sepertinya Tuhan mendengar doa kami karena hujan segera berhenti setelah itu.
Hujan berhenti, ganti kabut yang datang. Ke mana pun saya melihat, yang tampak hanya kabut yang tebal. Kabut yang cukup tebal untuk menghalangi jarak pandang. Sebenarnya pemandangannya cukup indah kalau saja kami tidak habis dibuat ketakutan setengah mati oleh badai tadi. Semoga si tukang perahu tahu ke mana harus pergi. Dia kan sudah cukup berpengalaman sebagai tukang perahu dan sering menghadapai masalah seperti ini. Untungnya dia memang sudah sangat ahli dan berhasil membawa kapal kami ke tepi danau. Perlahan-lahan, kabut mulai tersingkap dan terlihat beberapa orang yang menanti kami di ujung sana. Akhirnya sampai juga kami di Trunyan.

Pesawat
Di antara semua alat transportasi masal, jujur saja yang terakhir ini adalah yang paling jarang saya naiki. Tepatnya, saya hanya pernah naik pesawat satu kali saja sampai detik ini. Udik banget ya?
Pengalaman pertama naik pesawat membuat saya deg-degan. Segala sesuatu yang pertama selalu membuat saya deg-degan, entah kenapa. Saya bukannya takut seperti yang dialami oleh para penderita phobia naik pesawat. Saya justru merasa excited. Setelah sekian lama menanti, akhirnya kesempatan tersebut datang juga.
Saya harus berterima kasih pada kantor ayah saya karena kalau tidak ada acara rekreasi yang diadakan oleh kantor ayah, mungkin saya belum pernah menjejakkan kaki sama sekali di pesawat. Rute yang akan kami tempuh adalah Surabaya-Jakarta, jadi hanya menghabiskan waktu satu jam.
Selang beberapa pekan sebelum acara rekreasi kantor ayah saya diadakan, terjadi tragedi ledakan Adam Air yang tiba-tiba menghilang di atas Laut Jawa dalam perjalanan dari Surabaya menuju Makassar. Sangat mengenaskan. Tapi berita tersebut tidak lantas membuat saya jadi takut untuk naik pesawat. Bagi saya, kecelakaan bisa terjadi di mana saja. Kita sedang duduk-duduk di rumah pun bisa saja tiba-tiba mengalami kecelakaan yang tidak terduga. Asalkan kita selalu berdoa dan memohon keselamatan pada Tuhan, saya yakin akan selalu mendapat perlindunganNya. Apalagi, ini bisa menjadi satu-satunya kesempatan bagi saya untuk terbang. Belum tentu kesempatan seperti ini (gratis pula) bisa datang lagi. Jadi, saya malah merasa sangat excited, alih-alih merasa cemas. Akan tetapi, tidak begitu dengan yang dirasakan oleh beberapa rekan kantor ayah saya, terutama yang ibu-ibu.
Banyak dari ibu-ibu tersebut yang juga baru kali ini merasakan terbang. Belum apa-apa mereka sudah ketakutan setengah mati. Apalagi ditambah pemberitaan kasus Adam Air. Ada yang minta tiket pesawatnya ditukar tiket kereta api saja. Ada pula yang mau naik pesawat asalkan maskapainya bukan Adam Air. Ada yang rewel minta duduknya dekat dengan teman atau keluarga, padahal tiket sudah dipesankan secara acak oleh agen perjalanan. Karena jumlah rombongan yang cukup besar, maka kami terpaksa dipecah menjadi beberapa kelompok, dan menaiki pesawat yang berbeda-beda. nah, ibu-ibu tadi minta supaya dia bisa berada satu pesawat dengan temannya yang naik Lion Air, padahal dia sudah dapat tiket untuk Adam Air. Sungguh merepotkan. Bagaimanapun, show must go on. Meskipun ibu-ibu tadi masih bersikukuh, panitia dan petugas travel agent berhasil memaksa mereka untuk tetap naik pesawat sesuai dengan tiket masing-masing. Akhirnya kami berangkat dan alhamdulillah sampai di Jakarta dengan selamat.
Kesan saya yang muncul setelah naik pesawat: biasa aja tuh. Tidak ada yang istimewa ternyata. Pemandangan awan di angkasa memang bagus sih, tapi tidak leluasa memandangnya karena jendela pesawat terlalu kecil dan jarak antar kursi begitu sempit sehingga mengurangi ruang gerak. Untungnya hanya satu jam.

******

Kesimpulan yang bisa diambil: apapun alat transportasinya, kalau di Indonesia pasti banyak ditemukan kekurangan. Akan tetapi, kekurangan-kekurangan ini justru menyimpan cerita tersendiri bagi setiap penumpangnya, termasuk saya dan mungkin juga anda. Selamat berkelana.

Tidak ada komentar: