Minggu, 10 April 2016

Merundung

Beberapa hari yang lalu, ada seorang siswa baru di kelas VII-B. Anak tersebut bernama Rendi. Penampilannya rapi, serta memakai sepatu dan jam tangan yang terlihat lebih bagus dibanding anak-anak lain di kelas ini. Ketika guru menyuruhnya untuk memperkenalkan diri, ia tidak banyak berbicara. Hanya menyebutkan nama panjangnya dan kota di mana ia berasal. Ketika istirahat dan anak-anak mencoba untuk beramah tamah dengannya, ia pun juga tidak terlalu banyak bercerita. Hanya tersenyum dan menjawab dengan kalimat-kalimat pendek.

Doni, yang kebetulan duduk di belakang anak baru tersebut, tidak habis pikir dengan sikap Rendi. Dia anak baru, harusnya dia berusaha untuk lebih cepat beradaptasi dengan siswa lain di kelas ini. Kadang-kadang Doni suka menjahili Rendi dengan mencolek telinganya dari belakang atau mengejutkannya saat ia sedang serius. Maksudnya supaya Rendi lebih banyak berbicara. Ternyata usahanya tersebut juga tidak berhasil.

Hari ini ada kelas olahraga, dan semua anak sudah siap di lapangan dengan pakaian olahraga. Doni selalu bersemangat setiap pelajaran olahraga. Semenjak kecil, ia sangat suka dengan olahraga. Karena itu tubuhnya termasuk tinggi dan besar untuk anak-anak seusianya. Ayahnya yang selalu menyemangati Doni untuk rajin berolahraga, sebelum ia meninggal tiga tahun yang lalu.

Pak Iwan, guru olahraga kelas VII, akan mengajarkan tentang drible dan shooting dalam olahraga basket. Setelah menunjukkan beberapa contoh gerakan yang benar, ia kemudian menyuruh setiap anak untuk mempraktikkannya. Doni tanpa kesulitan melakukan gerakan drible dan shooting persis seperti yang ditunjukkan Pak Iwan. Bola yang ia lemparkan tepat masuk ke dalam ring dalam satu kali percobaan. Anak-anak bertepuk tangan dan menyorakinya. Doni tersenyum puas.

Tiba giliran Rendi. Ia terlihat agak canggung dan beberapa kali salah melakukan gerakan. Bola yang ia pantulkan ke lantai, terpental di luar kendalinya. Anak-anak mentertawakannya. Mukanya memerah. Kemudian Pak Iwan menyuruhnya untuk melakukan shooting. Bola basket yang ia lemparkan melesat jauh dari target yang seharusnya dan malah mengenai Pak Iwan. Anak-anak semakin keras tertawa, tak terkecuali Doni. Tidak berselang lama, Pak Iwan menyuruh Rendi untuk push-up sepuluh kali. Hal ini memang sering dilakukan Pak Iwan kalau ada anak yang tidak berhasil melakukan gerakan sesuai instruksi, bukan hanya karena ia baru saja terkena lemparan bola. Rendi melakukan push-up dengan usaha yang keras. Kaki dan tangannya terlihat gemetar menahan badannya sendiri, namun ia berhasil melakukan push-up hingga sepuluh kali sesuai yang diperintahkan.

Siswa laki-laki di kelas VII-B mempunyai rutinitas bermain futsal tiap hari Rabu sepulang sekolah. Doni dan teman-temannya tidak pernah absen dari rutinitas ini. Ia berinisiatif mengajak Rendi. Mungkin ini bisa membuat Rendi dan teman-teman bisa lebih akrab.

"Ren, ayo ikut kita main futsal."

"Wah maaf Don, aku tidak bisa. Habis ini aku ada les piano," jawab Rendi sambil berlalu meninggalkan Doni dan kawan-kawan lainnya.

"Sombong sekali. Lain kali tidak usah diajak lagi," kata salah seorang dari mereka.

"Sudahlah, tidak usah pedulikan dia. Ayo kita segera ke tempat futsal." tukas Doni.

                                                                             ****

Semenjak kejadian terakhir di kelas olahraga, anak-anak kelas VII-B jadi sering mengolok-olok Rendi. Dan hal ini dimotori oleh Doni. Apalagi sejak ajakannya untuk main futsal ditolak oleh Rendi, ia jadi lebih sering berbuat jahil kepada Rendi. Kadang Doni sengaja membuat basah kursi yang diduduk Rendi sehingga ia tampak seolah kencing di celana. Atau saat Doni memasukkan mainan tikus yang terbuat dari karet ke dalam tas Rendi, sehingga saat Rendi membuka tas, ia sangat terkejut dan berteriak kencang, mengira bahwa mainan tersebut adalah tikus asli.

Hampir setiap hari, Rendi menjadi korban keusilan Doni, namun Rendi tidak berdaya menghadapinya. Ukuran badan Doni jauh lebih besar daripada dirinya. Anak-anak yang lain pun tidak ada yang membelanya. Mereka hanya tertawa melihat hasil kerja Doni. Bahkan banyak di antara mereka yang membantu Doni menjalankan rencananya.

Kadang Doni agak khawatir juga, bagaimana kalau Rendi memberitahukan ke salah satu guru atau ke orangtuanya dan Doni kemudian dipanggil. Tapi sampai detik ini, tidak ada panggilan dari pihak sekolah, jadi ia merasa apa yang dilakukannya belum melampaui batas. Hingga suatu hari Rendi tidak masuk sekolah. Doni agak kecewa, karena ia sudah menyiapkan perangkap baru untuk Rendi hari ini. Ia heran juga, karena Rendi selama ini tidak pernah tidak masuk sekolah. Beda dengan dirinya yang terkadang bolos sekolah. Dari rumah pamitnya ke sekolah tapi kemudian belok ke arah persewaan playstation.

Doni tidak terlalu menghiraukan absensi si Rendi. Mungkin ia sedang sakit flu atau malah bolos seperti aku biasanya, pikir Doni. Namun esoknya si Rendi tetap tidak masuk sekolah. Teman-teman yang lain mulai bertanya-tanya ke mana Rendi. Beberapa anak berinisiatif ingin menjenguknya, kalau-kalau ia sakit, tapi ternyata tidak ada yang tahu di mana rumah Rendi. Akhirnya hari-hari berlalu tanpa kehadiran Rendi, dan Doni pun mulai cemas.

                                                                       ****

Sepulang sekolah, Doni dipanggil oleh ibunya untuk membicarakan sesuatu. Suara ibunya terlihat cemas. Apa ada masalah? Doni khawatir jangan-jangan memang telah terjadi sesuatu pada Rendi dan pihak sekolah sudah mengirimkan surat panggilan kepada Ibunya. Namun ternyata dugaannya salah. Ibunya sedang mencemaskan kondisi Shinta, adik perempuan Doni yang masih kelas lima SD.

"Don, adikmu tidak mau sekolah."

"Ha? Kenapa?"

"Ibu juga tidak tahu. Tadi pagi ibu kira dia sakit, kemudian mau ibu bawa ke dokter. Tapi dia bilang dia tidak sakit, dia hanya tidak mau ke sekolah. Ibu tanya kenapa, dia diam saja. Ibu tidak tahu harus bagaimana. Mungkin kau bisa bantu Ibu untuk membujuk adikmu."

Doni pergi ke kamar adiknya. Shinta sedang meringkuk di atas tempat tidur.

"Dek, ini abang bawakan kue kesukaan kamu."

"Iya Bang," jawab Shinta pelan.

"Kenapa? Biasanya kamu paling suka kue ini. Kok sekarang kamu tidak berselera?"

"Tidak apa-apa Bang. Shinta lagi malas ngapa-ngapain."

"Lho kok malas? Kata Ibu kamu hari ini juga tidak sekolah ya? Hayo, masak adik abang bolos."

"Iya Bang. Shinta tidak mau sekolah di situ lagi."

"Kenapa? Guru kamu jahat-jahat?"

"Gurunya sih baik Bang, tapi ada teman Shinta yang jahat."

"Kamu digangguin?"

"Iya Bang, tiap hari Shinta diusilin, diolok-olok. Shinta jadi malas ke sekolah."

"Kenapa tidak bilang ke Ibu atau ke gurumu?"

"Jangan Bang, nanti kalau anaknya ditegur, bisa-bisa malah lebih parah lagi mengganggunya. Mending Shinta pindah saja dari sana."

"Biar Abang yang tangani. Kamu tidak usah takut lagi. Siapapun yang berani bikin adik atau Ibu sedih akan berhadapan dengan Abang. Siapa nama anak itu?"

"Namanya Ken. Yakin Abang mau berkelahi dengan dia?"

"Iya, kenapa tidak? Abang habis ikut ujian kenaikan kelas karate. Akan Abang tangani anak itu."

Esok hari, Doni mengantar adiknya ke sekolah. Dia minta ditunjukkan mana anak yang namanya Ken. Awalnya Shinta tidak mau pergi ke sekolah, namun setelah dijamin oleh Doni bahwa dia akan membereskan masalahnya, akhirnya ia berangkat bersama Doni. Rencananya Doni akan menghampiri Ken dan sedikit menggertaknya. Anak SD pasti takut kalau digertak oleh anak SMP, pikir Doni.

"Yang itu Bang anaknya, baru saja sampai," Shinta menunjuk ke arah mobil sedan yang baru saja berhenti di depan gerbang sekolahnya. Keluarlah seorang anak perempuan dengan rambut kuncir kuda. Dia turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam sekolah. Setelah itu mobil yang mengantarnya langsung pergi lagi.

"Mana? Kok hanya anak perempuan itu saja yang keluar?"

"Ya itu tadi si Ken. Dia memang perempuan. Nama lengkapnya Ken Tantri. Tiap hari dia diantar sopir ke sekolah."

Kacau, ternyata Ken itu perempuan, pikir Doni. Masak ia mau mengancam anak perempuan, masih SD lagi. Doni berpikir keras mencari strategi lain untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi adiknya.

"Bagaimana Bang? Jadi mau memukul Ken?"

"Abang tidak mungkin memukul anak perempuan. Tapi Abang janji akan bantu kamu. Sudah, kamu masuk saja ke kelas, tidak usah takut. Kalau nanti kamu diganggu lagi sama si Ken, kamu harus tegas. Bilang kalau kamu tidak mau diganggu. Misalkan kamu masih diganggu katakan kalau ada Abang yang siap membelamu."

Shinta mengangguk dan berjalan ke arah pintu kelas. Ketika ia hendak masuk, Ken keluar bersama dua orang anak perempuan. Mereka saling berbisik-bisik ketika melewati Shinta. Ia menoleh ke Doni yang masih mengawasinya dan memberinya isyarat untuk masuk ke kelas. Shinta menurutinya. Ia yakin bahwa Abangnya akan membantunya.

Ketiga anak perempuan tadi kebetulan berjalan ke arah Doni. Mereka tidak tahu bahwa Doni adalah kakak Shinta. Ketika sudah dekat, Doni mencegat mereka.

"Kamu yang namanya Ken?"

"Iya Kak, ada apa ya?"

"Kamu yang suka mengganggu Shinta ya?"

"Eh, tidak kok Kak. Siapa yang bilang begitu?" Ken menjawab dengan suara agak bergetar.

"Sudah tidak usah mengelak. Mulai sekarang kamu jangan lagi mengganggu adikku ya. Atau aku laporkan kamu dan teman-temanmu yang suka mengganggu Shinta ke kepala sekolah. Kalau sampai Shinta menangis lagi karena kalian, lihat sendiri nanti akibatnya."

"I-iya kak" Wajah ketiga anak perempuan tersebut pucat.

Satpam yang berjaga di pintu depan mulai memperhatikan mereka. Doni bergegas pergi meninggalkan Ken dan teman-temannya.

                                                                                 ***

Hari ini, bangku Rendi masih terlihat kosong. Kata Bu Windi, wali kelas VII-B, Rendi sedang sakit. Doni jadi khawatir. Dia merasa bersalah, jangan-jangan Rendi tidak masuk sekolah karena alasan yang sama seperti yang dikeluhkan Shinta kepadanya. Jangan-jangan Rendi merasa terganggu oleh teman-temannya sendiri sehingga ia tidak berani untuk ke sekolah. Sesuatu yang bagi seseorang lucu, bisa jadi sangat menyakitkan bagi orang lain. Doni akhirnya sadar bahwa apa yang ia lakukan selama ini kepada Rendi mungkin sudah keterlaluan. Ia mengirim SMS kepada ibunya minta ijin pulang terlambat karena ikut menjenguk teman yang sakit.

                                                                                  ***

Sesampainya di rumah, Doni diajak bicara oleh ibunya lagi. "Terima kasih ya, Shinta sudah mau ke sekolah lagi. Ia juga tidak terlihat sedih. Ada apa sebenarnya kalau Ibu boleh tahu?"

"Shinta mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari beberapa orang temannya, sehingga ia merasa tidak nyaman dan ingin pindah sekolah. Tapi sudah Doni bereskan."

"Ya ampun. Kenapa dia tidak cerita ke Ibu?"

"Dia khawatir kalau nanti Ibu bicara dengan gurunya, kemudian teman-temannya tadi ditegur oleh gurunya, perlakuan teman-temannya akan menjadi lebih parah. Tadi langsung Doni sendiri yang menegur mereka dan cukup berhasil untuk membuat mereka jera."

"Terima kasih ya Don. Ibu tidak tahu harus berbuat apa tanpa kamu. Ibu jadi teringat Ayah. Dia orang yang baik, selalu membantu orang lain, seperti kamu."

Doni terdiam mendengar perkataan ibunya. Ia teringat kondisi Rendi yang baru ia jenguk siang tadi. "Doni bukan orang yang baik seperti yang Ibu kira."

"Lho kenapa begitu? Kamu selalu ada ketika Ibu membutuhkan kamu. Kenapa kamu bilang kamu bukan orang yang baik?"

"Iya Bu. Tadi siang kan Doni menjenguk teman yang sakit. Dia sakit karena Doni."

Ibu mengernyitkan dahi, "kok bisa?"

"Doni selama ini suka mengganggunya. Suka mengolok-oloknya bersama teman-teman, karena dia tidak pandai olahraga dan kurang  bersosialisasi dengan teman-teman yang lain. Awalnya Doni kira itu hal yang lucu, tapi mungkin Doni sudah keterlaluan. Beberapa hari yang lalu teman Doni yang bernama Rendi ini tidak masuk sekolah, ternyata dia sakit. Waktu kami semua menjenguk ke rumahnya, ia tampak terkejut dan khawatir. Kata ibunya akhir-akhir ini dia jadi begitu kalau ada yang menjenguknya. Ibunya diberitahu oleh dokter yang memeriksa Rendi bahwa Rendi sedang stres berat. Stresnya kenapa, dokter maupun ibunya tidak tahu. Saat itulah kami sadar bahwa kami yang menyebabkan dia stres dan sakit. Saat hendak pulang kami semua minta maaf ke dia. Doni juga berjanji akan mengajari dia beberapa teknik bermain basket saat dia masuk lagi, supaya kalau ada pelajaran basket lagi dia tidak kesulitan."

"Kamu memang sudah berbuat salah, tapi kamu sudah berani mengakuinya dan berusaha memperbaikinya. Itu perbuatan yang sangat terpuji anakku. Maafkan Ibu juga ya jika mungkin Ibu selama ini kurang perhatian sehingga kalian berdua mengalami masalah seperti ini."

"Tidak Bu. Mungkin ini memang tahap yang harus kami lalui untuk menjadi lebih dewasa. Ibu selama ini sudah berbuat yang terbaik untuk kami berdua."

                                                                              ***

Beberapa hari kemudian, Rendi sudah masuk sekolah lagi. Ia masuk kelas dengan agak canggung. Anak-anak menyapanya dengan ramah. Ia membalasnya dengan senyum kecil. Kemudian ia melihat ke bangkunya, bersiap-siap jika ada jebakan dari Doni. Tapi yang dilihatnya hanya bangku kosong dengan selembar kertas di atasnya. Dengan ragu-ragu ia membaca tulisan pada kertas tersebut.

"SELAMAT DATANG KEMBALI"

"Selamat datang Rendi," sebuah tepukan yang berat mendarat di bahu Rendi. Ia menoleh dan melihat Doni sudah berada di sampingnya. Ia meraba punggung dan pundaknya seolah-olah ada sesuatu yang menempel di sana.

"Tenang Rendi. Kami tidak akan menjahili kamu lagi. Sudah aku pastikan tidak ada yang akan menjahili kamu. Kalau ada yang melakukan perbuatan jahat terhadapmu, mereka akan berhadapan dengan aku." Doni tersenyum lebar dan merangkul pundak Rendi.

"Terima kasih," Mata Rendi berkaca-kaca mendengar perkataan Doni, "kau adalah teman yang baik."

"Oke. Bereskan mejamu dan persiapkan alat tulismu. Setelah ini kelasnya Bu Dina. Dia tidak suka melihat meja yang berantakan lho."

Masing-masing anak pergi menuju mejanya dan bersiap menyambut pelajaran pertama di hari itu. Doni tersenyum kecil. Ia merasa bahagia karena sudah melakukan sesuatu yang benar





6 komentar:

Unknown mengatakan...

Whuaah saa bagus.. berapa hari bikin beginian.. temanya ttg anak sekolah dan bulliying.. kerennya dialog mu hidup.. keep in going 😍

Unknown mengatakan...

Makasih za. Seharian ini bikinnya. Mumpung tiba2 ada inspirasi dan ada waktu

Unknown mengatakan...

Bagus mas... pelajaran baru, apa yang kita lakukan pasti akan kembali lagi kepada kita, meski tidak langsung ke diri sendiri ya ke orang2 disekitar kita :)

Unknown mengatakan...

Makasih Mbak Olif. Iya, aku bikin cerpen ini krn prihatin dg banyaknya kasus bullying

Swastikha mengatakan...

Bagus Sa. Inspiratif

Unknown mengatakan...

Makasih Mbak Tika